Sepertinya sudah menjadi hukum alam jika ada kemakmuran maka di situ juga terdapat kemiskinan. Terlepas dari masih tingginya tingkat kemiskinan di dalam negeri, pengalaman yang lebih miris ternyata dialami oleh sebagian penduduk di negara China.
Dibalik kesuksesan negara Tirai Bambu ini menyaingi hegemoni negara barat dalam bidang ekonomi dan perdagangan, namun potret buram kemiskinan masih sangat kental terlihat. Minimnya kesejahteraan penduduk di beberapa wilayah sejalan dengan buruknya pendidikan yang ada.
Potret itu bisa dilihat dari Wang Ziqi, bocah perempuan berusia tiga tahun di Shunhe, Provinsi Hubei. Di saat memasuki tahun ajaran baru di sekolah, Wang tidak hanya dituntut untuk menyiapkan berbagai keperlua sekolah berupa pensil atau buku. Lebih dari itu, Wang juga terpaksa membawa meja dan kursi sendiri ke sekolah.
Pemandangan miris ini terjadi setiap tahun ajaran baru. Untuk membawa meja dan bangku, Wang biasanya dibantu oleh kakak dan neneknya.
Walau demikian, Wang bukanlah satu-satunya siswa yang terpaksa membawa meja dan kursi dari rumah. Setidaknya ada lebih dari 3 ribu siswa lainnya di sekolah dasar dan sekolah menengah di Shunhe yang dipaksa membawa mejanya sendiri. Kondisi itu terjadi karena keterbatasan fasilitas yang diberikan pemerintah. Mereka hanya menyediakan sekitar 2 ribu pasang kursi dan meja. Padahal ada lebih dari 2 ribu siswa yang bersekolah.
Nenek dan kakak Wang Ziqi membantu membawakan meja dan kursi ke sekolah.
Di kota miskin tersebut, para orang tua murid terpaksa menggunakan apa saja yang mereka bisa gunakan, termasuk membawa meja kopi ke sekolah agar anak-anak mereka dapat belajar.
Saat dimintai komentar, banyak orang tua yang mengeluh. Mereka menyalahkan sistem pemerintahan yang dianggap sangat korup.
Orang tua di Shunhe akan menggunakan apapun yang dimiliki agar anaknya tetap bersekolah.
"Pemerintah pusat memberikan dana untuk fasilitas sekolah," kata seorang wali murid kepada stasiun berita NBC. "Tapi ketika sampai ke tempat kami, uang itu menghilang."
Meski pemerintah setempat di sana sudah merespon dengan memberikan tambahan meja dan berkomitmen akan memberikan bantuan lebih dari US$ 600.000 untuk menutup defisit anggaran, namun banyak dari penduduk yang tetap tidak percaya dengan janji-janji tersebut.
"Saya lebih suka percaya ada hantu di dunia ini daripada mempercayai janji-janji pemerintah," tulis salah satu kometar pada berita Changjiang Times
Berkaca dari kasus ini, kita hanya bisa mengharapkan pemerintah Indonesia tidak melakukan hal yang sama karena mewariskan kecerdasan dan ilmu bagi generasi muda lebih berharga daripada mewariskan harta semata.